Gambar by Google Image [ ilustrasi ] |
Buat Penulis saya mohon izin untuk share Kisah ini semoga yg membaca bisa mendapat inspirasi dari Tulisan Kisah Sedih *Karung Beras
*Karung Beras*
Seorang nenek di Dusun Bontomanai, Desa Patani, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan, bernama Daeng Bollo (75), tinggal di kandang ayam bersama dua ekor kambing peliharaannya. 10 tahun dia tidak memperoleh bantuan oleh pemerintah. Raskin tak dapat, BLT apalagi, tidak dapat. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, wanita paruh baya ini harus bekerja sendiri dengan beternak ayam lantaran bantuan pemerintah terhenti sejak 10 tahun silam. Ia menempati kandang ayam berukuran 2 x 3 meter yang terbuat dari atap seng bekas.
Membaca berita ini di media online (Kompas) sungguh membuat marah, jengkel, kesal, bercampur baur menjadi satu. Saya bahkan menghentikan memikirkan plot novel HUJAN. Baiklah, saya akan menulis catatan pendek ini, semoga satu-dua yang membacanya, bisa mengambil inspirasi, itu sudah kabar baik.
Kita semua tahu, merujuk UU 1945, maka jelas sekali ditulis dalam pasal 34, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Lantas dimana kehadiran negara atas kasus Nenek Daeng Bollo? Usianya 75 tahun, renta, tua, tenaganya tidak kuat lagi, lihatlah, dia seorang diri harus melewati kerasnya hidup di masa tua. Harga beras mahal, bahan pokok mahal, di mana kehadiran negara? Di gedung DPR? Yang setiap hari anggotanya bergaya di depan media hingga ludah muncrat kemana-mana? Di kantor2 bersih kinclong, dengan pejabat naik mobil mewah, wuss kesana-kemari dengan suara sirene memekakkan telinga, menyuruh orang lain minggir.
Catat baik-baik, nasib malang Nenek Daeng Bollo tidak sendirian, ada ribuan, belasan ribu orang tua, jompo, yang terlunta-lunta sama sekali tidak dipelihara negara. Ada puluhan ribu anak-anak yang berkutat di kolong jembatan, rumah kardus. Saya menulis novel "Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin", novel itu tidak didesain untuk novel roman percintaan, novel itu ditulis karena saya menyeka ujung mata, tidak sanggup melihat anak kecil usia sepuluh tahun, mengamen di atas bus. Malam hari, pukul 8, penumpang yg mayoritas pegawai kantoran, pulang dari Jakarta-Depok, lelah, abai atas kehadiran anak kecil ini. Suaranya tercekat, pakaiannya lusuh, tanpa alas kaki. Saya titipkan realitas itu dalam novel sebagai setting, agar ada yang tergerak memikirkannya. Saya bungkus dengan kisah cinta, agar kalian tidak merasa digurui, diceramahi.
Di mana kehadiran negara saat Nenek Daeng Bollo tinggal bersama ayam dan kambing?
Triliunan uang yang dikelola oleh pemerintah. Triliunan jumlahnya. Tapi banyak nenek-nenek jompo, anak-anak terlantar yang tidak sepeser pun menikmati uang itu. Kaya raya negeri ini, tanahnya subur, tambangnya di mana2, tidak sepeser pun mereka menikmatinya. Kemana sebagian uang itu lari? Riset mencatat: dikorup. Itulah kenapa, pemberantasan korupsi menjadi serius sekali. Agar uang-uang itu sampai di tangan orang jompo, anak-anak terlantar.
Saya lelah menulis soal ini, karena setiap saya tulis, pasti ada bedebah yang komentar, Anda jangan cuma menulis, tapi ikutan bantu pemerintah. Komentar kampungan yang dangkal sekali. Karena Dek, kita tidak perlu menyebut daftar kongkret yang telah kita lakukan di hadapan banyak orang. Tidak. Dan kita tidak perlu sibuk menilai apa yang telah dilakukan orang lain, apalagi sampai menilai cuma bisa bicara doang. Karena jangan2, kumpulkan semua hal kongkret yang kita lakukan seumur hidup bagi orang banyak, bahkan tidak 1% dibanding kerja nyata orang yang kita tanya. Dan saat orang lain tidak mengambil bagian jadi penguasa, bukan karena dia tidak mau, tidak mampu, tapi simply karena berbuat baik itu tidak perlu dengan menjadi pejabat. Masing-masing punya tugas yang berbeda.
Maka lihatlah nasib Nenek Daeng Bollo. Maka tanyakan, apakah negara sudah gagal melaksanakan konstitusi? Di tengah omong besar mereka, kecamuk pertikaian elit, apakah mereka masih punya nurani secuil untuk mulai membumi.
Besok lusa, siapapun yang ingin menjadi pejabat. Maka ingatlah kisah itu, ketika Umar memikul sendiri karung gandum ke rumah rakyatnya, karena Umar gentar atas dosa telah menjadi pemimpin tidak amanah. Hari ini, saya tidak berharap, ada pejabat di negeri ini yang akan memikul beras ke kandang ayam tempat Nenek Daeng Bollo tinggal. Tidak. Tapi setidaknya kalian, anak-anak muda yang hari ini masih sekolah. 20-30 tahun dari sekarang, saat kalian tumbuh besar dan menjadi bagian dalam pemerintahan. Kepada kalianlah saya berharap.
Saat hari itu tiba, mungkin saya masih bisa menyaksikan, kalian yang memikul karung beras itu, sambil menangis sepanjang jalan, takut sekali azab Allah akan menimpa karena telah lalai mengurus satu nasib rakyatnya. Kalian-lah yang akan melakukannya. Tidak akan pernah putus doa dan pengharapan saya.
*Tere Liye,
**lupakan penulisnya; ingatlah tulisannya
Advertisement